
JAKARTA (SPnews.com) — Anggota MPR dari Kelompok DPD, H. Al Hidayat Samsu, S.Pd, M.Pd, mengkritik wacana pemberian kewenangan kepada perguruan tinggi untuk mengelola tambang. Menurutnya, kebijakan ini tidak hanya tidak masuk akal, tetapi juga dapat membebani dunia akademik, yang seharusnya fokus mencetak generasi unggul.
“Peran utama perguruan tinggi adalah mencetak generasi yang siap bersaing secara global. Menambah tanggung jawab untuk mengelola tambang bukanlah solusi rasional dan berisiko besar terhadap integritas akademik,” kata Al Hidayat dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (1/2/2025).
Dalam 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, masyarakat justru dikejutkan dengan wacana revisi Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang diusulkan DPR. Salah satu poin kontroversial adalah pemberian kewenangan kepada perguruan tinggi untuk mengelola tambang.
Al Hidayat mengkritik pernyataan Menteri Energi dan Sumber Mineral yang menyebutkan bahwa kewenangan kepada perguruan tinggi untuk mengelola tambang adalah bagian dari distribusi ke masyarakat, bukan untuk kepentingan pengusaha. Ia menilai pernyataan ini tidak logis, mengingat kebijakan sebelumnya terkait kerjasama antara usaha besar dan UMKM tidak berjalan optimal.
“Jika kebijakan yang lebih sederhana saja tidak dapat dilaksanakan dengan baik, bagaimana kita bisa yakin bahwa pemberian kewenangan mengelola tambang kepada perguruan tinggi akan berhasil?” ujar Al Hidayat.
Senator dari Dapil Sulawesi Selatan ini menilai bahwa kebijakan ini bertolak belakang dengan semangat pemerintah yang ingin fokus pada pengelolaan kementerian untuk masing-masing tanggung jawab. Sebaliknya, pemberian kewenangan mengelola tambang justru akan membebani perguruan tinggi yang sudah berjuang dalam keterbatasan.
“Alih-alih memberi tanggung jawab tambahan yang tidak relevan, pemerintah seharusnya fokus pada perbaikan sistem pendidikan tinggi, mengurangi beban administrasi dosen, serta meningkatkan kesejahteraan mereka agar pendidikan tinggi di Indonesia semakin berkualitas,” tegasnya.
Al Hidayat menyebutkan beberapa masalah mendesak yang dihadapi oleh dosen dan tenaga pendidik di Indonesia, seperti pencairan tunjangan kinerja yang tertunda bertahun-tahun, kesejahteraan yang memprihatinkan, dan beban administrasi yang semakin berat.
Sebagai alternatif, Al Hidayat mengusulkan beberapa kebijakan yang lebih adil dan realistis. Pertama, pemerintah harus fokus pada peningkatan kesejahteraan dosen dan tenaga pendidik. “Prioritas utama seharusnya adalah menciptakan ekosistem akademik yang kondusif, termasuk pencairan tunjangan kinerja yang tertunda, peningkatan gaji, dan pengurangan beban administratif,” katanya.
Kedua, pemerintah dapat mewajibkan perusahaan tambang untuk memberikan beasiswa bagi siswa dari daerah sekitar tambang. “Program beasiswa ini bisa membuka kesempatan bagi mereka untuk melanjutkan pendidikan di universitas terbaik di Indonesia dan bekerja di kampung halaman mereka,” ujarnya.
Ketiga, pemerintah harus menjaga independensi akademik dan daya kritis kampus. “Perguruan tinggi memiliki peran utama sebagai pengawas kebijakan publik dan penjaga independensi akademik. Memberikan kewenangan mengelola tambang justru berpotensi membungkam suara kritis terhadap eksploitasi sumber daya alam yang merugikan lingkungan dan masyarakat lokal,” jelas Al Hidayat.
“Memberikan konsesi tambang kepada perguruan tinggi tidak hanya merusak integritas akademik, tetapi juga berisiko menimbulkan konflik kepentingan yang lebih besar. Usulan RUU Minerba oleh DPR ini adalah contoh kebijakan yang tidak berpihak pada pendidikan dan keberlanjutan lingkungan. Pemerintah seharusnya mendengarkan aspirasi tenaga pendidik yang hanya menuntut satu hal sederhana: peningkatan kesejahteraan dan penguatan kualitas pendidikan di Indonesia, bukan tambahan beban yang berbahaya bagi masa depan bangsa,” pungkasnya. (mpr/faz)